
JAKARTA, BritaHUKUM.com : Jam-Pidum Kejagung Asep Nana Mulyana, Rabu (4/06/2025), melalui gelar perkara (ekspose) secara virtual, kembali mengabulkan 8 permohonan berdasarkan kKeadilan Restoratif atau Restorative Justice (RJ).
Jam-Pidum AsepNana Mulyana. (Foto: Istimewa)
Kedelapan perkara tersebut adalah:
1. Tersangka Herdiani dari Kejaksaan Negeri Lombok Tengah yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
2. Tersangka Marets Lorensio Lohy alias Marex Lohy alias Abu Lohy dari Kejaksaan Negeri Seram Bagian Barat, yang disangka melanggar Pasal 170 Ayat (1) KUHP dan atau Pasal 351 Ayat (1) Jo Pasal 55 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
3. Tersangka Corneles Waileruny dari Kejaksaan Negeri Seram Bagian Barat, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
4. Tersangka Riska Amelia binti Basuki dari Kejaksaan Negeri Palembang, yang disangka melanggar Pasal 378 KUHP tentang Penipuan dan atau Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan.
5. Tersangka Anggit Aji Kurniawan bin Lagiman dari Kejaksaan Negeri Bantul, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
6. Tersangka Deska Yulianti dari Kejaksaan Negeri Pandeglang, yang disangka melanggar Pasal 378 KUHP tentang Penipuan atau Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan.
7. Tersangka Kusnadi alias Jakir alias Heru bin (Alm) Yunani dari Kejaksaan Negeri Pandeglang, yang disangka melanggar Pasal 374 KUHP tentang Penggelapan dalam Jabatan atau Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan.
8. Tersangka Sabaha Saleh alias Sabaha dari Kejaksaan Negeri Ternate, yang disangka melanggar Pasal 80 Ayat (1) jo. Pasal 76C Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan antara lain:
• Telah dilaksanakan proses perdamaian dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf:
• Tersangka belum pernah dihukum;
• Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana;
• Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun;
• Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya;
• Proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi;
• Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar;
• Pertimbangan sosiologis;
• Masyarakat merespon positif.
Selanjutnya Jampidum Asep Mulyana memerintahkan para Kepala Kejaksaan Negeri untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif atau Restorative Justice (RJ).
“Hal ini sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum,” pungkas JAM-Pidum. (bha/kp/agazali)