
KUTAI BARAT, BritaHUKUM: Polemik antara perusahan sawit PT. Teguh Swakarsa Sejahtera (PT. TSS) dengan masyarakat Kampung Muara Siram kembali terjadi dan menjadi sorotan masyarakat dan praktisi hukum di Kalimantan Timur (Kaltim).

Yahya Tonang, SH (Foto: IST)
Yahya Tonang Tongqing, SH seorang Ptaktisi Hukum yang akrab dijuluki Master Beruk Kalimantan, merasa prihatin dan menyoroti atas konflik yang belum juga menemukan jalan keluar meski sudah bergulir sejak tahun 2018 lalu.
“Masalah ini bermula dari hak masyarakat atas kebun plasma yang telah dimenangkan melalui putusan pengadilan hingga Mahkamah Agung (MA),” kata Yahya Tonang.
Menurut Tonang, putusan tersebut bahkan telah dieksekusi oleh Pengadilan Negeri Kutai Barat pada tahun 2018 dengan menyerahkan lahan seluas 530 hektar kepada masyarakat, namun kenyataannya masyarakat hingga saat ini masih belum benar-benar menikmati hasil dari lahan tersebut.
“Secara hukum, masyarakat sudah berhak atas lahan plasma tersebut. Putusan pengadilan sudah berkekuatan hukum tetap dan sudah dieksekusi. Jadi, di mana letak pidananya kalau masyarakat memanen buah sawit dari lahan yang memang hak mereka?” ujar Tonang.
Tonang mengatakan bahwa terhadap laporan PT Tegu Swakarsa Sejahtera (TSS) kepihak Polres Kutai Barat dengan menuduh sebagian masyarakat melakukan pencurian buah sawit dimana kasus tersebut saat ini dalam penyelidikan.
Yahya Tonang mengingatkan aparat penegak hukum agar berhati-hati sebelum menarik kesimpulan, sebab masyarakat memanen lahan berdasarkan hak yang telah diputuskan pengadilan.
Sebagai praktisi hukum, Tonang juga mengatakan bahwa, PT TSS juga sebelumnya sudah dilaporkan kelompok masyarakat melalui Supri cs, ke Polda Kaltim atas dugaan tindak pidana penggelapan lahan plasma, dimana saat ini memasuki tahap akhir.
Saya optimis penyidik akan segera meningkatkan status perkara ke tahap
penyidikan, mengingat sudah ada bukti berupa keterangan saksi, dokumen, serta pendapat ahli pidana, tegas Tonang.
“Jika dugaan penggelapan lahan ini terbukti,
tentu masyarakat tidak bisa disebut salah
karena mereka hanya mengambil hasil dari
kebun plasma yang memang menjadi haknya,” ujar Tonang.
Masyarakat sudah menempuh jalur hukum sejak awal. Gugatan mereka bahkan dikabulkan hingga tingkat Kasasi dan Peninjauan Kembali (PK), terang Tonang.
Namun sayangnya, meski menang di atas
kertas, praktiknya masyarakat justru tidak
mendapatkan haknya secara nyata.
Tonang menambahkan bahwa, adanya dugaan permainan di tingkat koperasi yang menyerahkan kembali lahan plasma kepada perusahaan tanpa persetujuan masyarakat.
“Hal demikian dapat merugikan masyarakat, bahkan bisa masuk ranah pidana jika ada yang dengan sengaja menyalahgunakan kepercayaan dan menyerahkan kembali lahan eksekusi ke perusahaan,” tegas Tonang.
“Saya berharap Polres Kutai Barat dan aparat terkait bersikap netral dalam menangani kasus ini, tidak hanya cepat merespons laporan perusahaan, tetapi juga memberi keadilan kepada masyarakat yang selama ini merasa dizalimi. Perusahaan itu juga subjek hukum, jadi harus diperlakukan sama, hukum tidak boleh tajam ke bawah tapi tumpul ke atas,” pungkas Tonang (bha/adv).