SAMARINDA, BritaHUKUM : Sidang Peninjauan Kembali (PK) terpidana ALEXANDER AGUSTINUS ROTTIE sudah selesai digelar di Pengadilan Negeri Samarinda, Kalimantan Timur (Kaltim) pada hari Rabu, (20/8/2025), selaku Kuasa Hukum, Yahya Tonang Tongqing, SH menilai Putusan Kasasi Mahkama Agung (MA) Keliru, putusan Kasasi yang non-eksekutabel .

Yahya Tonang Tongqing, SH (Foto: Istimewa)
Bahwa dalam Memori PK tersebut Advokat Yahya Tonang Tongqing, SH menyoroti ada 5 (lima) poin penting yang dianggapnya dalam Putusan Kasasi Nomor 2121/K/PID.SUS/2017 tanggal 1 Februari 2018 adalah keliru dan tidak menerapkan hukum sebagaimana mestinya.
Namun Kejaksaan Negeri Samarinda hanya mampu menanggapi/menjawab 2 (dua) poin saja, yaitu terkait Putusan Non-eksekutable dan sorotan Yahya Tonang terkait tidak disebutkannya dakwaan alternative mana yang dianggap Hakim Judex juris terbukti.
Yahya Tonang juga menjelaskan bahwa diketahui salah satu isi dalam Memori PK yang diajukan tidak dicantumkannya perintah menahan kembali Terpidana yang pernah divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Samarinda dalam Putusan Nomor 942/PID.SUS/2016/PN.Smr. tanggal 18 Januari 2017.
Sehingga pada waktu itu Terdakwa ALEXANDER AGUSTINUS ROTTIE langsung dibebaskan dari tahanan seketika setelah putusan diucapkan walaupun belum incrach, sehingga menurutnya jika tidak ada perintah menahan kembali adalah bentuk putusan Kasasi yang non-eksekutabel, tegas Yahya Tonang.
Tonang juga menilai bahwa Putusan MK Nomor 69/PUU-X/2012 tanggal 22 November 2012 yang menafsirkan perintah ditahan/tetap dalam tahanan tidak berkaitan dengan eksekusi pidana adalah kurang tepat.
“Esensi antara Penahanan dengan Pemidanaan menurut saya sama saja hanya berupa diksi, bahkan diksi itu sama juga dengan kata “kurungan” yang artinya menghukum penjara terhadap seseorang yang dipersalahkan, terlepas itu hukumannya lebih singkat, hal itu mengingat pada umumnya masa penahanan selalu dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan kepada seorang terpidana,” ujar Tonang yang biasa dijuluki Master Beruk Kalimantan.
Dikatakan bahwa amar Putusan Kasasi nomor 3 menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan, telah mengindikasikan Terdakwa ALEXANDER AGUSTINUS ROTTIE saat itu masih didalam tahanan. Padahal diketahui bahwa terdakwa dibebaskan dari tahanan seketika setelah Putusan diucapkan Judex fakti pada Pengadilan Negeri Samarinda dalam Putusan Nomor 924/PID.SUS/2016/PN. Smr tanggal 18 Januari 2017, maka itulah alasan semestinya Putusan Judex Juris wajib menyebutkan perintah menahan kembali terdakwa.
“Jika tidak menyebutkan perintah menahan kembali terdakwa maka dapat dipastikan Putusan tersebut Non-Eksekutabel sebagaimana dimaksud Pasal 197 ayat (2) Huruf K Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana tahun 1981 kata Tonang dalam memori PK,” ujar Yahya Tonang.
Tonang juga menyebut bahwa menurut pihak Kejaksaan Negeri Samarinda dalam jawabannya, eksekusi yang mereka lakukan sudah sesuai dengan Rumusan Hasil Diskusi Kelompok I B Bidang Pidana Khusus pada hari Rabu tanggal 31 Oktober 2012, sementara menurut Tonang jika ada kesempatan Replik dalam PK tersebut maka dirinya akan mengulik hasil discusi tersebut menurutnya justru semacam bentuk “kegagalan hukum” mencari-cari pembenaran atas putusan yang ambigu atau terkesan menganulir Pasal 197 KUHAP yang sudah tegas.
Hasil discusi itu menurut Tonang equivalen dengan model putusan perkara narkotika yang kadang kala apabila dalam pasal dakwaan tidak tepat terhadap perbuatan terdakwa, maka hakim berhak memberikan hukuman yang paling ringan, sementara jika kita baca teori penyusuan dakwaan justru jika perbuatan tersebut tidak sesuai unsur pasal dalam dakwaan maka mestinya terdakwa divonis bebas bukan justru diberikan hadiah keringanan, itu sudah resiko sebagai Penegak Hukum yang tidak teliti, kata Tonang dengan tegas.
Bahwa Kejaksaan Negeri Samarinda juga menyangkal bahwa Putusan Kasasi Nomor 2121/K/PID.SUS/2017 tanggal 1 Februari 2018 tidak menyebutkan dakwaan alternative mana yang terbukti, yang mana menurut pihak Kejaksaan terdapat asas dalam hukum pidana yakni Notoire Feiten yaitu hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 184 KUHAP.
Sementara menurut Tonang alasan itu merupakan bentuk penafsiran analogi yang sangat dilarang dalam hukum pidana, lagipula mana bolah menafsirkan suatu Putusan Hukum disamakan dengan metode menilai suatu alat bukti? Ga boleh itu, tegas Tonang.
Bahwa terkait 3 (tiga) poin penting memori PK yang tidak ditanggapi Kejaksaan, tentunya berlaku asas hukum onsplitbare aveu, yang menguntungkan pemohon PK, oleh sebab itu kami selaku Pemohon Peninjauan Kembali (PK) tetap optimis bahwa Putusan Mahkamah Agung nanti akan sesuai harapan kami demi keadilan dan memvonis bebas kembali Pemohon Peninjauan Kembali, pungkas Tonang penuh keyakinan. (bha/agazali).






